Jakarta, Jumat 19 Oktober 2012
Setelah ijin gatepass
(ijin cabut resmi biar ga potong gaji) diperoleh, di jam istirahat siang
langsung minggat dari kantor. Sampai di rumah, setelah sebelumnya mampir buat
sholat jumat, langsung makan dan mandi. Berangkat dari rumah jam setengah 2
siang dengan menggendong tas punggung buat baju dan perlengkapan lain sama
gandulin tas kamera di depan. Belum sampe jalan raya, tali tas punggung sebelah
kiri putus (maklum pake tas super KW bukan KW super :p). Karena males balik lagi buat ganti, jadi lanjut aja,
nanti tinggal diiket sambil nunggu angkot, yang penting kamera dan tas nya ga
kenapa-kenapa :D
Sampai di Stasiun Senen ketemu temen kuliah dan temen-temen
baru lain dari komunitas Love Backpacker. Kenalan bentar, bagi tiket kereta,
ngobrol-ngobrol, masuk peron, nunggu kereta. Kereta dateng sekitar jam setengah 4 sore
dan berangkat ga lama setelah itu, on
schedule, good. Kereta yang saya,
maksudnya kami, naiki merupakan Kereta Ekonomi Kerta Jaya dengan tarif Rp
43.000,- dari Senen menuju Surabaya melalui rute utara. Berbicara mengenai
kereta, saya punya komentar pribadi, Selama menaiki kereta saya ngerasa sudah
ada perubahan dari PT. KAI. Mulai dari logo perusahaan yang sudah berubah,
masuk peron harus menunjukkan KTP yang sesuai dengan nama pada tiket, jumlah
pedagang asongan yang berkurang, sampai semua penumpang yang kebagian tempat
duduk. Semoga perubahan ini membawa PT. KAI ke arah yang lebih baik.
Surabaya, Sabtu 20 Oktober 2012
Tiba di Stasiun Pasar Turi sekitar jam 5 pagi (wow on
schedule lagi, nice). Sebagai info, dua tahun sebelum ini, dengan kereta dan jam keberangkatan yang sama, saya
sampai sekitar jam 7 dan ini ngaret dari
jadwal yang seharusnya. Salute buat
PT. KAI yang sekarang. Setelah bersih-bersih, ganti baju, dan sambil nunggu rombongan berikutnya (total rombongan sekitar 30-an orang), kami berpose dahulu.
|
(Depan Stasiun Pasar Turi) |
Perjalanan di mulai dengan mencari sarapan, saya memilih
nasi pecel + telor dadar + sate daging (lupa namanya apaan, bukan sate biasa
pada umumnya, ini digoreng, pakai serondeng, rasanya manis) + teh manis dengan
harga Rp 12.000,-. Selesai sarapan mampir dulu ke jembatan merah, ambil foto
dikit, balik lagi ke Elf (mobil
sewaan yang badannya panjang). Menurut itinerary,
seharusnya perjalanan lanjut ke
Suramadu, tapi karena waktu ga cukup karena ada beberapa hal diluar perkiraan,
rombongan menuju ke tempat sejaran salah satu perusahaan rokok besar di
Indonesia, yup, House of Sampoerna. Setahu
saya masuk ke museum ini free of charge
alias tidak dipungut biaya, ya iya lah, yang punya itu museum kan tajir
orangnya. Di lantai satu museum ini, kita bisa melihat replika toko rokok pertama Bapak Putera Sampoerna, tembakau,
cengkeh, mesin kuno untuk mencetak bungkus rokok, foto-foto, dan berbagai
koleksi lainnya.
|
(Replika toko rokok pertama Pak Sampoerna) |
Dua merek rokok yang terkenal milik orang kaya nomer 9 di
Indonesia ini adalah Rokok Kretek Dji Sam Sue dan Rokok Filter A Mild (Dulu
tapi, sekarang rokoknya punya Philip Morris, tahun 2005 saham PT. HM Sampoerna
Tbk termasuk anak usahanya dijual, harganya $5M,wuoo). Ada beberapa informasi menarik yang saya peroleh dari
kunjungan di lantai 1 museum ini. Pertama dari penamaan rokok kretek,
sebelumnya saya menduga nama ini karena saat dibakar dan dihisap mengeluarkan
suara kretek-kretek dari pembakaran campuran bahan rokok itu sendiri, ternyata
saya benar. Hebat juga logika saya,hehe… Lalu, jika kita perhatiin bungkus Roko
Kretek Dji Sam Sue, itu terdapat bintang berjumlah 9, angka 234, dan tulisan
fatsal-5. Menurut mba-mba guide museum
yang full of semangat yang
menjelaskan kepada pengunjung, kisahnya adalah Bapak Sampoerna dahulu memiliki
beberapa resep rokok yang dinamakan dengan angka karena beliau buta huruf.
Angka 234 menunjukkan perpaduan resep nomer 2, 3, dan 4. Sedangkan Fatsal-5
berarti percobaan kali kelima yang dilakukan. Nama Dji Sam Sue diambil dari
pelafalan angka 234 itu sendiri, dan terakhir bintang yang berjumlah sembilan
adalah kepercayaan beliau terhadap angka yang menurutnya sembilan merupakan
angka yang sempurna. Boleh lah ya philosophy
mereknya.
Di lantai 2, kita bisa melihat proses pembuatan rokok kretek
tradisional yang ternyata menggunakan tenaga manusia. Di lantai ini kita tidak
boleh mengambil gambar. Saya merasa takjub dan kasian secara bersamaan saat
melihat mereka, yang semuanya adalah wanita, memproduksi rokok kretek. Bekerja
cepat (sangat cepat saya bilang) dan mengejar target produksi batang rokok
perjamnya. Saya tidak akan mengulas banyak.
Probolinggo, Sabtu 20 Oktober 2012
Next destination adalah Air Terjun Mardakaripura. Air terjun
yang konon katanya dulu si super Patih Gajah Mada bertapa ini terletak di
Probolinggo Jawa Timur, biasanya wisatawan setelah ke Bromo mampir ke sini
karena letaknya memang tidak terlalu jauh dan mungkin masih masuk Kawasan
Wisata Gunung Bromo juga, tetapi kami kebalikannya ke sini dulu baru ke Bromo J. Tiket ga tau berapa harganya, karena sudah
masuk paket tour (harga paket tour kami kali ini Rp 530.000,- exc. urusan
perut). Ada beberapa air terjun di sini dan agak lumayan jauh menuju ke sana. Bahkan
untuk menuju ke air terjun utama kita harus melewati air terjun yang lain, so pasti basah dulu kalo kepengen sampe
ke jagoannya. Tapi kalo ga pengen basah kaya saya, ups, bisa sewa payung or
jas hujan, Rp 5.000,-. Langsung aja lihat fotonya. Karena kondisi yang banyak
percikan airnya, jadi harus cari spot
yang aman buat kamera. Ga bisa puas dengan lensa kamera, saya puasin dengan
lensa mata, hehe…
|
(Patung di depan jalan menuju air terjun) |
|
(Penampakan dari jauh) |
|
(air terjun yang harus dilalui menuju air terjun utama) |
|
(Air terjun utama) |
Bromo, Minggu 21 Oktober 2012
Bangun jam 3 pagi (lebih tepatnya dibangunin, abisan tidur
nyenyak banget di homestay) sambil
menggigil nyiapin keperluan, terus beli masker karena lupa bawa. FYI, semua harga di sini di atas standar, jadi siapin deh semuanya
di rumah, e.g. kupluk, sarung tangan,
syal, masker, kaca mata, jacket, etc.
wong makan makanan di warung rumahan
aja mahal. Dengan menggunakan hardtop sekitar jam 4 subuh kami langsung menuju
ke tempat melihat sunrise. Diicip aja fotonya :D
|
(Semburat merah di kaki langit) |
|
(Mulai ngintip) |
|
(Udah tinggi) |
|
(Kawasan Gunung Bromo) |
|
(Kawasan Gunung Bromo) |
|
(Kawah Gunung Bromo)
Jam
6 turun menujuke Bukit Teletubie melewati padang pasir menggunakan kendaraan
yang sama, kurang lebih setengah jam perjalanan. Pernah lihat serial film super
fenomenal Teletubies? Yaa gambarannya kaya gitu lah mirip-mirip. Tapi karena
lagi kemarau jadi kurang begitu hijau dan di foto yang saya ambil biasa aja,
maklum pak bu saya cupu tak punya
pengalaman dalam urusan jepret-menjepret :p
|
|
(Senang sekali mereka mmm) |
|
(Di Bukit Teletubies) |
Cuma
setengah jam di Bukit Teletubies, Hardtop membawa kami ke tengah padang pasir,
melihat pemandangan dan tentu saja foto-foto.
|
(Di balik bukit belakang Hardtop adalah Bukit Teletubies) |
Dan
puncak dari perjalanan ini tidak lain adalah Kawah Gunung Bromo. Jam tangan Casio Edifice saya menunjukkan jam
setengah 8. Kami berhenti jauh dari kawah, karena memang tidak bisa dekat, ada
pancang beton mengelilingi pura di kaki
kawah Bromo. Selama ini saya salah mengira, seperti yang dilihat di web or di televisi kalo Gunung Bromo yang ini
|
(Gunung Batok) |
Ternyata
salah, ya, saya yang salah, Gunung Bromo ya itu yang tinggal kawahnya aja. Saya
jalan menuju pura sambil menikmati badai pasir, yup, cuaca yang cerah saat itu dibarengi dengan angin kencang yang
berhembus. Lihat saja foto kawah Gunung Bromo ini.
|
(Kawah Gunung Bromo yang tertutupi badai pasir) |
Sayang
kalo kemari tidak mencoba sensasi naik kuda. Dari dekat pura, tarif sewa kuda
Rp 60.000,- sampai ke kaki tangga kawah lalu balik ke Hardtop. Selama menaiki
kuda saya merasa iba dengan si kuda. Bagaimana tidak, si kuda batuk-batuk saat
membawa saya menuju kaki tangga. Kuda yang dinaiki teman malah tidak lebih baik
kondisinya, melambat dan dipecut-pecut oleh sang, sebut saja,
pembawa kuda. Angin kencang pembawa pasir begitu luar biasa hari itu seperti badan
ini dilempari pasir and membuat hati ini mundur untuk turun di tengah tangga
kawah. Tapi karena masih melihat ada makhluk hidup lain yang berada di atas,
saya putuskan untuk lanjut ke atas, setidaknya mereka masih hidup,hehe.. Saya
akhirnya senang berada di atas dengan nafas tersengal-sengal dan mata berasa
kasar serta mulut berisi pasir halus. Puas? Tidak. Saya tidak mendapatkan view yang bagus di Kawah Bromo, karena
terang hanya sesaat sesaat, selebihnya gelap karena mata tak sanggup melawan
butiran pasir. Mungkin hanya sekitar 5 menit di atas, lalu turun mencari
pembawa kuda dan kembali ke rombongan. Ternyata hanya sedikit dari rombongan
yang memberanikan diri menuju ke Kawah Bromo. Saya dan beberapa teman beruntung
berarti bisa ke sana,haha.. Terakhir sebelum
masuk ke hardtop saya sempatkan diri untuk berfoto di atas kuda :D
|
(Gaya dikit di atas kuda :p) |
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus